Thursday, August 22, 2019

Benci Mengucapkan Selamat Tinggal

Kenapa Engkau, tidak mau menemuiku?

Aku benci untuk mengucapkan selamat tinggal. Aku tidak suka perpisahan.

Bukankah setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan?

Oleh karena itu aku semakin membencinya.

Simbolku, Simbolmu


Sekarang sedang heboh tentang pemotongan nisan berbentuk salib di daerah Yogyakarta. Saking hebohnya ada yang berpendapat bahwa daerah istimewa tersebut sudah tidak toleran lagi. Yang lucunya, yang heboh itu adalah orang-orang di luaran sana. Pihak keluarga almarhum sendiri sudah ikhlas atas kejadian tersebut. Pemotongan salib ini sebagai bentuk kesepakatan antara warga sekitar dengan keluarga. Kebetulan daerah tersebut hampir semuanya beragama Islam. Warga mengizinkan jenazah dimakamkan di sana dengan kesepakatan tidak membawa simbol-simbol agama.

Mengumpulkan "Receh" Agar Masuk Surga


Ketika Pak Prabowo gagal memenangkan pemilihan presiden yang kedua kalinya, ada suara-suara yang berusaha"menghibur" dirinya. Kalau mau mengabdikan diri kepada bangsa dan negara tidak harus menjadi seorang presiden. Bisa berkontribusi dengan cara yang lain. Sampai di sini saya setuju.

Sekarang kita kembalikan kepada kita sebagai ciptaan-Nya. Manusia dan jin diciptakan hanya untuk beribadah kepada Alloh SWT. Itulah misi kita di dunia ini.

Wednesday, August 21, 2019

Terpenjara Dalam Apartemen


Pada hari sabtu minggu pekan lalu, saya sempat merasakan menginap di sebuah apartemen di daerah Bandung Utara. Kegiatan ini bertepatan dengan acara kumpul-kumpul keluarga besar dari pihak istri.

Selama beraktivitas di sana, sempat terlintas dalam fikiran bahwa orang-orang yang tinggal di sana seperti "terperangkap" di dalamnya. Kenapa saya bisa berkesimpulan seperti itu? karena kami sempat tersesat di dalamnya. Ya benar-benar tersesat.

Keluarga besar menyewa dua unit di apartemen. Kamar di lantai 10 dan kamar di lantai 15. Setiap kamar memiliki kunci dan kartu akses kemana-mana. Saya mendapatkan jatah di kamar 15. Setelah saya beres-beres di kamar lantai 15, kami berniat ke kamar di lantai 10. Karena sebagian besar anggota keluarga berkumpul di sana. Antara lantai dihubungkan dengan sebuah lift. Dari lantai 15 kami naik lift turun ke bawah. Ketika memencet lantai 10 kami tidak berhasil. Berkali-kali kami pijit tombolnya dan menempelkan kartu aksesnya, lift tetap bergerak. Ketika lift berhenti di lantai 5, karena ada yang keluar di sana, kami ikut-ikutan keluar. Dan ternyata timbul masalah baru. Kami benar-benar tidak bisa kemana-mana. Di tengah kebingungan akhirnya kami memutuskan untuk lantai G (ground). Seorang penghuni apartemen mengajak kami ke lantai ground. Karena dia juga mau ke sana. Alhamdulillah, masih ada orang baik ternyata.

Monday, August 19, 2019

Makanan Yang Paling Enak

Sewaktu menjadi mahasiswa, saya pernah tinggal di asrama. Berbagi kamar dan tempat dengan teman-teman berbagai daerah dan jurusan dengan merasakan senasib sepenanggungan. Sebagian dari kami memilih asrama dikarenakan mengontrak atau menyewa kamar kost terlalu mainstream pada waktu itu (baca terlalu mahal untuk kantong kami).

Namanya kesusahan, dalam masalah makanan kami hanya mengenal dua jenis makanan. Makanan yang enak dan enak sekali. Tidak ada lagi. Jadi kalau ada teman yang bertanya apakah makanannya enak, pasti kami jawab enak sekali. Saat itu bagi kami sudah bisa makan teratur saja sudah sebuah keberuntungan.

Seiring dengan berjalannya waktu, kami sudah merampungkan pendidikan kami di kampus dan mendapatkan penghasilan sebagai pekerja atau wiraswasta. Kondisi perekonimian mulai membaik. Kembali ke soal makanan, dulu yang tema perjuangan bagaimana bisa makan setiap hari, bergeser mejadi makan tiga kali sehari. Dari yang makan tiga kali sehari menjadi makan yang enak-enak.

Mensyukuri Hidup

Setiap aku memikirkan kesusahan hidupku, buru-buru aku mengingat bahwa masih ada orang yang lebih susah dibandingkan aku. Kata-kata Lao Tse teringang - ngiang di kepala. "Aku sedih tidak mempunyai sepatu baru, tetapi kesedihanku hilang ketika melihat orang tidak memiliki kaki."

Dan aku mulai menerima kesusahan yang aku alami ini. Anggaplah ia sarana buat kamu untuk mensyukuri apa-apa yang sudah dipegang.

Di sini bukan kesusahannya yang berkurang, tetapi bagaimana kamu memandang kesusahan itu. Pada waktu pertama kamu memandang dari atas, maka kamu merasa menjadi orang tersusah sedunia. Ketika memandang dari bawah, maka kamu merasa masih beruntung dibandingkan yang lain. Di sini kita belajar untuk mensyukuri hidup.

Menjalani Hidup

Terkadang hidup itu (tinggal) hanya menjalani. Di sini tidak diperlukan kecerdasan kamu untuk menentukan jalan mana yang mau dipilih. Di sini sudah terbentang satu-satunya jalan yang kamu harus lalui. Ya benar kamu tidak ada pilihan.

Dan permasalahannya adalah bukan jalan mana yang kamu pilih, tapi bagaimana kamu menjalaninya.


Tuesday, August 13, 2019

Ada Band"




untuk istriku

Dari sekian band yang mengusung lagu "cinta-cinta" mungkin hanya Ada Band yang masih saya mau dengar. Padahal sedari SMP saya selalu mengidentikan diri dengan lagu yang "keras-keras", apalagi masa remaja saya dihabiskan di era 90-an dimana sedang subur-suburnya alternative music dan grungem (Lu tahu sendiri kan kerennya musik-musik zaman ini). Namun untuk ada band, masih ada ruang di telinga saya.

Monday, August 12, 2019

Mengapa Saya Tidak Berpacaran


Setiap menceritakan sebagian kisah hidup saya, saya suka menyoal proses pencarian jodoh saya. Di sini saya menjelaskan bahwa saya tidak berpacaran untuk mencari calon istri. Jadi sejak saya SMP, dimana mulai mengenal bahwa mahluk perempuan itu ada yang cantik sampai kuliah saya tidak pernah berpacaran.

Ada beberapa alasan mengapa saya tidak melakukan kegiatan anak muda umumnya ini. Alasan pertama adalah sedari dulu yang saya tekankan saya mau mencari calon istri, bukan mau mencari pacar. Jujur pemikiran seperti ini sudah menempel di kepala sejak bercelaana biru dongker selutut. Hal ini terinspirasi oleh seorang guru bernama Bu Tuti yang tanpa ada angin atau hujan, tiba-tiba berkata : kalau mencari perempuan gampang, yang sulit adalah mencari calon istri. Saat itu saya percaya begitu saja perkataannya. Saya mempercayainya karena Bu Tuti ini sudah sepuh, terlihat dari rambutnya yang sudah sebagian besar berwarna putih, yang artinya yang sudah banyak makan asam garam kehidupan.