Tuesday, March 17, 2020

Kuliah Salah Jurusan, Apa Yang Harus Dilakukan



seorang laki-laki adalah, menyelesaikan apa-apa yang sudah dia mulai

Masa-masa kuliah adalah masa-masa yang paling indah memberikan kesan tersendiri di hati saya. Sampai-sampai ini menjadi indikator kalau saya sedang stress. Saya akan bermimpi masa-masa kuliah saya ini. Saya membutuhkan waktu enam tahun dari standar empat tahun untuk merampungkan masa kuliah saya.

Saya kuliah di jurusan kimia di sebuah perguruan tinggi negeri di kota Bandung. Yang membuat kuliah saya lama adalah saya membutuhkan waktu dua tahun untuk mengerjakan tugas akhir (TA) dan mengulang beberapa mata kuliah. Dan saya adalah lulusan ketiga dari belakang di angkatan saya.

Mengapa saya bisa lama untuk menuntaskannya? Kalau dirunut-runut lagi penyebabnya adalah bahwa kuliah di jurusan kimia ini ternyata tidak sesuai dengan bakat dan minat saya. Berdasarkan hasil psikotes waktu di SMA, saya disarankan untuk mengambil ilmu sosial budaya dan komunikasi. Bahkan kalau saya berkecimpung di sana, saya bisa mengambil jenjang sampai S3.



Namun waktu itu terasa gengsi kalau mengambil sesuatu yang berbau-bau IPS. Keyakinan kami pada waktu itu kasta IPA lebih tinggi dari kasta IPS. Seorang anak IPA bisa menguasai apa-apa yang diajarkan di kelas IPS. Tidak sebaliknya. Dan ternyata itu salah. Mau IPA mau IPS sama-sama bagus, sama-sama mempunyai pangsa pasar masing-masing.

Kembali ke pilihan saya kuliah, selain karena saya anak IPA (selama belajar di kelas IPA ternyata baik-baik saja) dan didukung oleh nilai paling tinggi di rapot adalah pelajaran kimia maka saya memilih kimia, sebagai pilihan kedua. Pilihan pertamanya adalah teknik arsitektur. Di sini saya merasakan namanya "menabrak sebuah tembok tebal". Otak ini terasa berhenti di sini. Saya tidak bisa mengikuti lebih jauh di kimia. Saya membutuhkan effort yang luar biasa untuk hasil yang biasa-biasa di sini. Kalau saya study oriented (kalau istilah anak sekarang kupu-kupu, kuliah pulang kuliah pulang) saja ceritanya akan lain. Namun karena saya sok ikut-ikutan aktif, akhirnya kuliahnya jadi terbengkalai. Jadinya jadi enam tahun kuliahnya.

Waktu itu pada saat buntu, tidak ada niatan untuk mengakhiri kuliah seperti mengundurkan diri atau drop out (DO).  Apa pun yang terjadi, saya merasa harus menyelesaikannya, dengan segala remuk redamnya. Saya pernah bertemu dengan seorang teman yang memutuskan mundur dari kuliahnya. Padahal tinggal tugas akhir saja. Namun karena sudah tidak ada semangat, dia meninggalkan begitu saja. Waktu itu saya hanya menghargai keputusannya karena berada dalam fase kuliah mentok adalah fase yang berat bagi sebagian orang. Dan saya juga tidak menganggap diri saya luar biasa.

Saya tidak sampai kepikiran untuk mengundurkan diri karena waktu itu tidak sampai hati melakukan itu karena kasihan dengan orang tua yang sudah capek-capek membayari biaya kuliah saya. Orang tua capek-capek cari biaya kuliah, biarlah saya capek-capek di dalam kuliah.

Dan walau pun kuliahnya lama, sependek ingatan, saya tidak pernah telat datang kuliah, saya tidak pernah titip absen dan berusaha duduk di depan. Duduk di depan saja banyak tidak mengertinya apalagi kalau duduk di belakang. Untuk menghibur diri, walau pun nilai yang diperoleh jelek, yang penting saya sudah berusah semaksimal mungkin.

Dari sini saya mengambil pelajaran bahwa, jika melakukan sesuatu berdasarkan potensi yang kita miliki untuk hasil yang maksimal dan saya jadi percaya hasil psikotes.


Photo by Tim Gouw on Unsplash

No comments:

Post a Comment