Saturday, November 24, 2018

Gw Gak Peduli Kalo Lo Temen Maen Golf-nya SBY

Hi! Saya adalah Hasan Abadi Kamil. Di jagat social media ini, saya hanya ingin berteman dan mengenal kamu lebih dalam. Karena kamu baik dan ada sesuatu yang bisa dibagi. Tidak lebih dari itu.Tidak ada urusannya dengan pekerjaan dan usaha saya.

Saya tidak peduli, seberapa keren kamu, berapa banyak uang yang kamu punya (saya tidak pura - pura terkejut bahwa kamu milyader no 12 di dunia), semoncer apa karir kamu, seberapa pengaruhnya kamu,
seberapa dekat kamu dengan rock star yang ingin saya mintakan tanda tangannya. Saya hanya ingin kenal kamu dan berteman karena kamu baik. Titik.


Habis baca sebagian buku "delivering happiness".

HOBINYA APA?

oleh : hasan abadi kamil

Seumur - umur selama saya bekerja ada dua orang yang berbeda yang tidak saling kenal, di waktu berbeda,  mengajukan pertanyaan yang sama : Mas Hasan hobinya apa?

Diberi pertanyaan semacam itu saya terdiam; tidak bisa menjawab. Saya hobinya apa ya? Malah saya balik tanya dalam hati.

Kalau hobi didefinisikan secara bebas adalah kegiatan untuk mengisi waktu luang, maka saya tidak mempunyai hobi. Yang pasti waktu luang saya di akhir pekan lebih banyak dihabiskan bersama keluarga.

Ingin mengatakan hobi saya membaca, sekarang saya sudah jarang membaca buku. Ingin dibilang hobi menonton, saya juga sudah jarang menonton tivi. Aapalagi olahraga. Sudah berapa lama badan ini tidak gerak-gerak. Bagaimana kalau hobi makan? Masak makan dibilang hobi sih? Itu kan kebutuhan.

Sebenarnya kegiatan utama saya bermuara di tiga hal : kerja-kerja-kerja. Jadi bisa disimpulkan hobi saya adalah bekerja!

Dan menariknya kedua orang yang tidak saling kenal ini mempunyai hobi yang sama yaitu MEMANCING!

UFC dan Saya

Pada umumnya orang tidak percaya ketika mengetahui saya suka menonton acara olahraga keras seperti Ultra Fight Championship (UFC) dan sejenisnya.
Bagaimana mungkin orang seperti saya bisa suka acara itu? Kayaknya enggak ada potongan jagoan atau tukang pukul. Begitu fikirnya. 

Memang saya bukan jagoan atau tukang pukul. Niat saya menonton acara tersebut semata-mata hanya mempelajari strateginya saja. Selain itu juga saya tidak menjadi fans yang fanatik atau penggila berat acara tersebut. Saya tidak mengkhususkan waktu untuk menontonnya. Kalau pas menyalakan tivi ada acaranya ya saya tonton. Kalau enggak ada ya enggak. Dan kalau ditanya para juaranya dan siapa yang menjadi juara sekarang saya pun tidak tahu banyak. 

Dari acara yang full body contact ini ada yang bisa saya ambil pelajaran dan bisa diterapkan di bidang kehidupan yang lain.
1. Yang sering juara biasanya adalah yang basic-nya kuat di main bawah (submission) seperti gulat atau Brazilian Jiujutsu. Coba lihat berapa kali keluarga Gracie menjuarai olahraga keras ini.
2. Setiap orang mempunyai disiplin bela diri masing-masing, tapi kalau mau menang harus mempelajari disiplin beladiri yang lain. Yang basic-nya tekwondo, harus belajar gulat atau tinju agar kemampuannya lengkap. Maka di sini muncul istilah mix martial art (MMA). Dalam strategi bisnis janganlah fanatik pada satu cara, tapi setia pada cara yang membuat kita menang.
3. Memang oke menguasai banyak disiplin beladiri, namun yang cerdas adalah mereka yang bertarung dimana mereka bisa menang. Kalau lawannya jago main bawah hindari pertarungan jarak dekat. Cukup berikan beberapa tendangan pukulan dan segera menghindar. Lakukan secara hit and run. Bahkan ada yang meninggalkan begitu saja ketika lawannya sudah terlentang mengajak main bawah. Dia tidak peduli disoraki penonton atau dikata-katai "pengecut" oleh lawannya. Gua mau menang, bukan mau peluk-peluk Lu di bawah hehe. Tidak usah malu-malu mengakui kalau kita mempunyai kelemahan. Dengan ini kita maksimalkan kelebihan kita dalam merebut peluang dan meraih kesuksesan.

Selamat bertarung. Keep fighting!

Mengurangi Anak Main Gadget Tanpa Kekerasan

"Bu, berapa lama anak boleh main gadget setiap harinya?"Tanya seorang bapak dalam sebuah forum orang tua murid di sekolah. Pada pertemuan kali ini dibahas bahaya gadget bagi anak-anak.
"Sebaiknya anak main gadget hanya sejam sehari." Jawab si pembicara. Yang mengisi adalah seorang praktisi pendidikan dan ahli parenting.

Jawaban nara sumber membuat tertegun sang penanya dan orang tua murid lainnya. Tak ada suara yang terdengar, semuanya sedang mengevaluasi anaknya masing - masing.

Memang saya akui sulit sekali untuk membatasi anak main gadget hanya satu jam sehari. Kalau langsung diterapkan begitu saja tanpa pengkondisian sebelumnya, hanya akan menimbulkan kegaduhan dengan anak. Sebab mereka merasa kesenangannya terganggu. Kalau sudah begini jangan harap anak mau melepaskan gadget-nya, yang ada malah ribut dengan anak. Namun bukan berarti kita harus menyerah sampai di sini.

Untuk membatasi pemakaian gadget pada anak ada beberapa tahap yang bisa diterapkan. Penerapannya bisa dilakukan bertahap; sedikit demi sedikit.

1. Buat sebuah aturan main mengenai pemakaian gadget di rumah. Misalnya  main gadget hanya dilakukan di siang hari. Kalau sudah sholat maghrib maka tidak ada yang lain main gadget. Di sini mulai ada pembatasan, namun tidak langsung drastis. Si anak tidak merasa keberatan, tokh siangnya masih bisa main.

2. Berikan kegiatan alternatif sebagai pengganti main gadget. Mereka main gadget karena tidak ada kegiatan lain untuk mengisi waktu. Mengalihkan fokus anak jauh lebih baik dari pada melarangnya. Ini bisa kita lakukan dengan membaca buku, menggambar, bermain, beraktivitas di luar rumah, jalan-jalan dan lain sebagainya.

3. Orang tua harus memberikan contoh. Anak-anak hanya meniru apa yang dilihat di sekitarnya. Kalau kita sebagai orang tua ingin membatasi mereka main gadget, maka mulailah dari kita sendiri. Berdasarkan pengalaman, hanya gara-gara saya mengecek nomor kontak, anak saya yang sedang asyik bermain jadi ingin main gadget. Ketika seharian menahan diri untuk tidak menengoknya, mereka lebih mudah diajak untuk melakukan kegiatan yang lain. Nanti bagaimana kalau ada pesan yang masuk? Kalau memang penting, saya yakin ada telfon yang masuk. Jadi tenang sajalah.

4. Temani selagi anak-anak bermain gadget. Dengan ini kita bisa memastikan anak-anak melihat konten yang aman untuk mereka. Kemudian ajak mereka berdiskusi atas konten yang sedang mereka lihat.

Ini kalau konsisten dilakukan maka anak akan mengurangi main gadget sedikit demi sedikit. Diharapkan tumbuhnya kesadaran, bahwa main gadget itu boleh tapi ada batasannya.



Gerakan Setengah Gelas

Kalau kebetulan makan di luar (rumah), setelah memesan makanan biasanya akan ditanya : "Minumnya apa Mas?"
Saya akan menjawab :"Air putih." Setelah itu saya akan segera menambahi, "Air putihnya setengah aja Mas."
Biasanya wajah sang pelayan akan berubah keheranan. Dia masih tidak bisa"menerima" pesanan seaneh itu.
"Sayang Mas, kalau enggak habis. Nanti terbuang. Kalau kurang kan, saya masih bisa minta lagi."
Setelah mendapat penjelasan tersebut, baru dia mengerti. Dan saya pun mendapatkan  setengah gelas minuman saya.

Kebiasaan saya itu saya sebut dengan gerakan air minum setengah gelas. Gerakan ini dilatar belakangi oleh kebiasaan saya yang suka menyisakan minuman setelah makan. Sisa minuman itu akan dibuang begitu saja oleh pemilik warung. Bayangkan kalau ada sekian juta orang melakukan hal yang sama berapa banyak air yang terbuang. Belum lagi kalau dikaitkan dengan biaya yang terbuang.

Gerakan setengah gelas ini terinspirasi dari kegiatan 5R di tempat kerja saya. 5R adalah disiplin kerja untuk meningkatkan kecepatan, kualitas dan keamanan di tempat kerja. 5R terdiri dari Ringkas, Rapi, Resik, Rawat dan Rajin.

5R selalu dimulai dengan R yang pertama : ringkas. Ringkas adalah hanya yang diperlukan saja dan tidak berlebihan jumlahnya. Yang diperlukan adalah sesuatu yang ada hubungannya dengan pekerjaan kita saat ini. Kalau tidak ada hubungannya silahkan dikeluarkan dari area kerja kita. Bisa disimpan atau dibuang. Tergantung barang-barangnya. Kalau kumpulan kertas bekas yang sudah tidak terpakai silahkan dibuang. Kalau barang pribadi seperti fishbowl berisi ikan peliharaan, silahkan dibawa pulang.  Kalau pekerjaan yang akan dikerjakan 3 bulan mendatang, simpan dulu di rak atau laci kita. Dan seterusnya.

Kalau kita terbiasa melakukannya, maka akan ini akan mempengaruhi pola fikir kita. Termasuk dalam hal-hal kecil. Kalau pada kasus saya, baru dalam memesan minum ketika makan.

"Pak Hasan, minumnya apa? Biasa air putih anget setengah gelas, ya."Kata Bu Dek tukang gado-gado langganan dekat kantor.
"Kenapa Mas? Tanya Rizki, teman kantor beda bagian. Disampingnya ada Pak Yusuf, atasannya.
""Sayang Mas, kalau enggak habis. Nanti terbuang. Kalau kurang kan, saya masih bisa minta lagi."Jawab saya.
"Kalau begitu, saya airnya setengah juga."Kata Rizki.
"Saya juga." Kata atasannya.

Sunday, October 7, 2018

Jangan Membatasi Rejeki Dengan Gaji

Kalau sudah ngobrolin masalah compensation and benefit dari perusahaan, biasanya saya tidak ambil bagian. Paling banter hanya senyum-senyum saja. Melihat saya "biasa-biasa" saja ada yang berani bertanya :"Kalau Pak Hasan, gajinya cukup ya?"
Saya hanya tertawa. Biasanya saya langsung menjawab: "Jangan membatasi rejeki dengan gaji."

Ya, kita jangan pernah membatasi rejeki kita dengan gaji yang kita terima setiap bulannya. Padahal rejeki itu luas sekali, dan tidak hanya berasal dari dimana tempat kita bekerja.

Sebelum bicara lebih lanjut, saya akan sertakan  "Nasihat keberkahan gaji oleh Imam Syafii"
Nasehat Imam Syafi'i Agar Uang Gaji / Honor Menjadi Berkah

Seorang laki-laki datang kepada Imam al-Syafi’i radhiyallaahu ‘anhu mengeluhkan kondisi ekonominya yang begitu sempit. Gajinya sebagai buruh dengan upah 5 dirham tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya.

Mendengar keluhan laki-laki itu, Imam al-Syafi’i memberinya nasihat supaya mendatangi majikannya dan memintanya untuk menurunkan gajinya menjadi 4 Dirham. Karena kepercayaanya kepada Imam Syafi’I laki-laki itu mengikuti saran sang Imam. Meskipun ia tidak mengerti apa maksud saran tersebut.

Selang beberapa waktu, laki-laki itu datang lagi. Dia masih mengeluhkan kondisi ekonominya yang masih susah. Lalu Imam al-Syafi’i memberinya saran agar mendatangi majikannya dan memintanya untuk mengurangi upah kerjanya menjadi 3 dirham. Laki-laki itu pergi melakukan saran Imam al-Syafi’i dengan heran karena tidak mengerti maksud saran Imam Syafi’i.

Beberapa waktu berlalu, laki-laki itu datang lagi dan mengucapkan terima kasih atas nasehat dan saran yang sebelumnya diberikan Imam Syafi’i. Dia mengatakan, ternyata 3 dirham dapat memenuhi semua kebutuhannya. Bahkan setelah itu hartanya menjadi melimpah.
Kemudian laki-laki itu bertanya tentang maksud saran dan nasehat al-Syafi’i yang selama ini diberikan.

Imam Syafi’i menjelaskan, bahwa beliau melihat kerja laki-laki itu kepada majikannya hanya layak diupah 3 dirham. Sedangkan selebihnya 2 dirham telah mencabut keberkahan upah yang diterimanya ketika bercampur dengan 3 dirham tersebut. Lalu al-Syafi’i bersyair:

ﺟُﻤِﻊَ ﺍﻟْﺤَﺮَﺍﻡُ ﻋَﻠﻰَ ﺍﻟْﺤَﻼَﻝِ ﻟِﻴُﻜْﺜِﺮَﻩْ  #  ﺩَﺧَﻞَ ﺍﻟْﺤَﺮَﺍﻡُ ﻋَﻠﻰَ ﺍﻟْﺤَﻼَﻝِ ﻓَﺒَﻌْﺜَﺮَﻩْ

Harta yang haram dikumpulkan pada yang halal agar menjadi banyak

Ternyata masuknya harta haram pada yang halal, justru menghancurkannya

Kisah di atas sangat bisa menjadi renungan bagi kita. Harta melimpah yang kita peroleh, kalau tidak sesuai dengan jasa dan pelayanan yang kita berikan, justru tidak berkah dan merusak kehidupan kita.

Sebaliknya, harta sedikit yang kita peroleh, apabila sesuai dengan jasa yang seharusnya kita terima, justru berkah dan menjadikan harta seseorang melimpah. Semoga kita mendapatkan harta yang berkah dan melimpah. Amin.


Nasehat dari Imam Syafii begitu berkesan buat saya. Pernah pada suatu masa, gaji yang saya terima tidak mencukupi. Waktu itu kondisi perusahaan masih dalam "perjuangan 45 merebut kemerdekaan". Suatu hari saya menanyakan kepada istri : apakah bisa menabunng setiap bulan? Istri tidak langsung menjawab. Bak Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan kondisi keuangan negara, dia membeberkan perincian pengeluaran setiap bulannya. Semua pengeluaran jelas rimbanya. Tidak belanja yang tidak masuk akal. Tidak biaya yang dikeluarkan hanya untuk jalan-jalan atau makan di luar.

Melihat laporan keuangan, saya hanya terdiam dan menerima faktanya. Ya sudah kita terima kondisinya. Pada saat itu, memang benar-benar tidak bisa menabung, malah yang ada tabungan kami ikut tergerus untuk keperluan tertentu. Di saat itu fikiran saya bingung untuk biaya sekolah anak saya di awal tahun ajaran baru. Uang dari mana untuk membayarnya?

Sebulan mau tahun ajaran baru, tiba-tiba ada berita gembira. Saudara saya yang tinggal jauh memberikan bantuan uang tanpa syarat apa-apa. Jumlahnya sebesar biaya sekolah anak saya. Alhamdulillah, jadi bisa sekolah anak saya. Untuk sementara biaya anak sekolah saya teratasi. Setidaknya untuk semester ini. Semeseter berikutnya kita fikiran nanti saja.

Dan ternyata, ketika kondisi keuangan kami masih begitu-begitu saja, bantuan dari saudara saya tetap diberikan setiap menjelang anak saya mau sekolah. Benar-benar sudah ada yang mengatur. Kejadian ini berlangsung beberapa tahun.

Pada satu masa, ketika kondisi perusahaan membaik. Ada kenaikan di slip gaji saya. Saya bisa menabung untuk biaya anak sekolah. Dan coba tebak apa kabar berikutnya? Saudara saya ini tidak memberikan bantuan lagi. Jadi benar-benar pas. Dia menghentikan "bantuan" ini bukan karena karena tahu saya mengalami kenaikan gaji. Hmmmm.

Jadi kesimpulannya adalah kalau memang kita layak dibayar 10, walau pun tempat bekerja baru kasih 8, maka Alloh akan memberikan 10. Dan sebaliknya kalau kita hanya layak dibayar 8, walau atasan kasih 10 maka akan banyak jalan dimana yang 2 itu akan pergi.

"Mas, bagaimana kalau tulisan ini dijadikan dasar atasan saya membayar rendah? Kan rejeki Alloh yang ngatur. Kamu saya bayar kecil. Sisanya dari Alloh." Begitu kira-kira.

Rejeki itu urusan Alloh. Kalau seorang pemilik usaha membayar tidak sesuai haknya, itu urusan dia sama Alloh juga.


Sunday, September 16, 2018

Saya, Gandhi dan Kepemimpinan

Pernah di sebuah masa, saya berpendapat bahwa kepemimpinan itu memang benar-benar dilahirkan. Pendapat ini berasal dari pengamatan saya waktu kecil. Biasanya ketika dalam permainan (sebelum gadget dan internet merebutnya) ada sosok anak yang menonjol. Dia yang biasa memimpin teman-temannya. Mulai dari memilih permainan dan sebagainya. Biasanya ciri anak ini mempunyai kepercayaan diri yang tinggi. Plus ditambah suara yang keras dan penampilan yang menarik.

Jadi saya yang introvert dan minder tidak yakin akan menjadi seorang pemimpin yang baik. Mulai dari SD sampai tamat SMA, saya hanya sekali menjadi ketua kelas. Itu terjadi pas kelas enam. Itu semata-mata, saya ditunjuk karena saya adalah anak Kepala Sekolah SD dimana saya belajar.

Keyakinan saya mulai terganggu ketika menginjak masa-masa SMP. Suatu saat saya membeli majalah HAI edisi khusus yang berjudul "Yang Terkemuka, Yang Terbunuh". Di dalamnya dibahas mengenai tokoh Gandhi. Di dalam tulisannya diceritakan bagaimana kharismatiknya seorang Gandhi. Setelah India menerima kemerdekaan dari Penjajah Inggris, India dirundung perseteruan antara Hindu dan Muslim. Masing - masing pihak ingin saling memisahkan diri dan membentuk negara sendiri-sendiri. Gandhi menentangnya. Sebagai salah satu tokoh penggerak kemerdekaan India, Gandhi paham betul soal itu. Dia mengeluarkan statement : belahlah tubuhku sebelum India dibelah.
Dalam satu halaman diceritakan setiap kali kaum Hindu dan Muslim bunuh-bunuhan, Gandhi langsung "mengancam" bahwa dia akan puasa terus menerus sampai saudara-saudara yang Hindu dan Muslim berdamai.

Mengetahui guru yang mereka cintai berpuasa, yang saling baku pukul, langsung berhenti dan bergandengan tangan di jalan-jalan India meminta Gandhi menghentikan puasanya. Sungguh hal yang luar biasa dari sesosok bernama Gandhi. Mengapa saya begitu tertarik dengan tokoh Gandhi ini karena dibandingkan tokoh-tokoh lain di majalah HAI tersebut, dia secara fisik biasa-biasa saja. Bandingkan dengan John F. Kennedy yang flamboyan atau Abraham Linclon yang tinggi besar.

Perkenalan saya dengan Gandhi terus berlanjut. Ketika sedang belajar di perpustakan menghadapi ulangan saya menemukan sebuah buku biografi Gandhi.  Beberapa hal yang saya ingat adalah Gandhi itu termasuk orang yang pemalu dan bersuara lemah. Hal ini semakin mengganggu konsep kepemimpinan yang saya pegang.

Kepemimpinan Gandhi, sungguh menginspirasi saya. Tidak dengan suara yang keras, fisik yang kekar-berotot atau iming-iming harta dia mampu menggerakkan rakyat India dalam mencapai kemerdekaan. Kepemimpinannya membuka mata saya bahwa ada sebuah kepemimpinan yang tidak membutuhkan keahlian pidato, tampang rupawan atau banyak harta. Setelah sekian lama mengenalnya, yang membuat Gandhi bisa menjadi pemimpin yang baik karena integritasnya. Integritasnya ini melebihi segala kelemahan fisik yang dia punya.

Ini ada sebuah cerita yang pernah saya dengarr. Pada suatu hari, dia didatangi seorang ibu dengan menggandeng anaknya. Dia meminta Gandhi menasehati anaknya yang masih suka makan permen. Gandhi pun menyanggupinya.

Setelah hari itu, Gandhi belum menasehati sang anak. Si Ibu pun kembali mendatangi Gandhi untuk menasehati anaknya. Dan Gandhi tetap belum menasehati sang anak.

Hingga suatu saat, setelah cukup lama, Gandhi baru menasehati anak itu. Dia mengatakan bahwa makan permen itu tidak baik. Bisa merusak gigi. Bukannya berterima kasih, sang ibu malah protes kepada Gandhi. Mengapa baru sekarang dia menasehati anaknya. Setelah berulang kali dia memintanya. Gandhi menjawab dengan simpel. Sebenarnya saya suka makan permen. Ketika Ibu meminta saya menasehati anak ibu saya membutuhkan waktu untuk berhenti makan permen. Baru saya berani menasehat anak Ibu.

Itulah menjawab semua pertanyaan saya selama ini mengenai kepemimpinannya, sekaligus menggugurkan "mitos" kepemimpinan yang saya pegang. Kepemimpinan memang bisa dilahirkan. Tapi dia lebih banyak dihadirkan/ dibangun. Salah satunya Gandhi. Kalau ingin menjadi pemimpin yang baik, maka marilah kita mulai dengan membangun integritas.

catatan tambahan:
saya pernah membahasnya juga di sini http://thenangkalandaks.blogspot.com/2010/05/gandhi-suka-permen.html


Orang Kampung dan Kampungan

Pertama kali mendengar istilah "Orang Kampung" adalah ketika saya masih masih berusia Sekolah Dasar (SD). Bapak saya yang seorang guru, membuat kami hidup berpindah-pindah mengikuti pengabdiannya sebagai pengajar. Saya cukup banyak menghabiskan masa kecil di sebuah daerah di Kabupaten Bekasi. Sebuah daerah yang dikategorikan "Kampung", dimana masih banyak sawah ladang, tanah lapang dan sungai-sungai di sekeliling kami tinggal.

Hingga pada suatu saat datang para pengembang ke tempat kami. Meratakan semuanya dengan timbunan tanah dan batu-batu. Di atasnya berdiri deretan perumahan tipe 21, 36 dan 45: sebuah perumahan baru telah muncul. Plus dengan orang-orang pendatangnya.

Kebanyakan para penghuni adalah orang-orang pindahan dari luar kampung, terutama dari Jakarta. Kami mengenal mereka sebagai "Orang BTN". Sebutan yang disematkan karena pemilikan rumah mereka menggunakan jasa Kredit Pemilik Rumah (KPR) dari Bank Tabungan Nasional (BTN). Yang suka diplesetkan menjadi Beli Tapi Nyicil. Dan mereka menyebut kami sebagai "Orang Kampung".

Pada awalnya kata orang kampung adalah kata yang netral. Kata yang dimaksudkan untuk menyebut para penduduk asli; orang yang duluan tinggal; yang tinggal di luar kompleks perumahan. Namun kata ini menjadi tidak netral dan tidak enak kedengarannya ketika kata orang kampung dipenuhi dengan hal-hal yang jauh dari "peradaban orang kota". Susah diatur, jorok, tidak punya sopan satun, norak, tidak berpendidikan dan lain-lain. "Jangan maen sama orang kampung, nanti kamu bakalan bla bla bla". Mungkin kita pernah mendengar nasehat seorang ibu seperti ini kepada anaknya ketika pulang bermain.

Dan ternyata sampai saya berpindah-pindah kota karena tinggal dan bekerja, istilah orang kampung ini banyak juga pemakainya. Menjadi sebuah kata yang universal. Dan enggak enaknya itu karena dimaknai embel-embel di atas tadi. Alih-alih menyebut orang kampung, saya yang pernah tinggal di komplek perumahan sebuah kota mandiri di Cikarang, lebih suka menyebut para orang kampung tersebut dengan sebutan : "Orang Sini".

Dan terakhir di sebuah kolam renang untuk umum di bilangan Bandung Tengah, istri saya mendengar komentar  yang menyebut anak-anak kampung ketika melihat sekelompok anak usia SD berenang dengan kulit yang legam, tidak memakai celana renang ikut berenang. Begitu mendengar itu, ingatan saya langsung melesat ke masa kecil saya. Dan jujur tulisan saya ini terpicu karena itu. Istri saya membalasnya dengan bergumam," ngaku orang kota, tapi pop mie ke anak batita". (memang waktu kejadiannya, si ibu muda itu sedang menyuapi anaknya yang masih kecil dengan pop mie. Ya Tuhan, hidup macam apa ini???).

Kalau ada istilah orang kampung kita juga mengenal istilah "Kampungan". Istilah kampungan ini, yang kita sepakati, tidak mengenal batasan geografis dan tempat tinggal. Karena dia merupakan sifat. Jadi tidak hanya orang kampung saja yang kampungan, orang kota juga banyak. Tidak hanya orang berpendidikan SD, orang sekolah tinggi-tinggi pun banyak. Banyak perilaku kampungan yang menjalari di kehidupan kita sehari-hari. Tidak mau antri, membuang sampah sembarangan, dan lain sebagainya.

Terakhir, sampai saat ini saya selalu menyebut saya orang kampung karena asal-usul saya. Dan saya tidak ada masalah dengan itu yang penting saya tidak kampungan.