Pertama kali mendengar istilah "Orang Kampung" adalah ketika saya masih masih berusia Sekolah Dasar (SD). Bapak saya yang seorang guru, membuat kami hidup berpindah-pindah mengikuti pengabdiannya sebagai pengajar. Saya cukup banyak menghabiskan masa kecil di sebuah daerah di Kabupaten Bekasi. Sebuah daerah yang dikategorikan "Kampung", dimana masih banyak sawah ladang, tanah lapang dan sungai-sungai di sekeliling kami tinggal.
Hingga pada suatu saat datang para pengembang ke tempat kami. Meratakan semuanya dengan timbunan tanah dan batu-batu. Di atasnya berdiri deretan perumahan tipe 21, 36 dan 45: sebuah perumahan baru telah muncul. Plus dengan orang-orang pendatangnya.
Kebanyakan para penghuni adalah orang-orang pindahan dari luar kampung, terutama dari Jakarta. Kami mengenal mereka sebagai "Orang BTN". Sebutan yang disematkan karena pemilikan rumah mereka menggunakan jasa Kredit Pemilik Rumah (KPR) dari Bank Tabungan Nasional (BTN). Yang suka diplesetkan menjadi Beli Tapi Nyicil. Dan mereka menyebut kami sebagai "Orang Kampung".
Pada awalnya kata orang kampung adalah kata yang netral. Kata yang dimaksudkan untuk menyebut para penduduk asli; orang yang duluan tinggal; yang tinggal di luar kompleks perumahan. Namun kata ini menjadi tidak netral dan tidak enak kedengarannya ketika kata orang kampung dipenuhi dengan hal-hal yang jauh dari "peradaban orang kota". Susah diatur, jorok, tidak punya sopan satun, norak, tidak berpendidikan dan lain-lain. "Jangan maen sama orang kampung, nanti kamu bakalan bla bla bla". Mungkin kita pernah mendengar nasehat seorang ibu seperti ini kepada anaknya ketika pulang bermain.
Dan ternyata sampai saya berpindah-pindah kota karena tinggal dan bekerja, istilah orang kampung ini banyak juga pemakainya. Menjadi sebuah kata yang universal. Dan enggak enaknya itu karena dimaknai embel-embel di atas tadi. Alih-alih menyebut orang kampung, saya yang pernah tinggal di komplek perumahan sebuah kota mandiri di Cikarang, lebih suka menyebut para orang kampung tersebut dengan sebutan : "Orang Sini".
Dan terakhir di sebuah kolam renang untuk umum di bilangan Bandung Tengah, istri saya mendengar komentar yang menyebut anak-anak kampung ketika melihat sekelompok anak usia SD berenang dengan kulit yang legam, tidak memakai celana renang ikut berenang. Begitu mendengar itu, ingatan saya langsung melesat ke masa kecil saya. Dan jujur tulisan saya ini terpicu karena itu. Istri saya membalasnya dengan bergumam," ngaku orang kota, tapi pop mie ke anak batita". (memang waktu kejadiannya, si ibu muda itu sedang menyuapi anaknya yang masih kecil dengan pop mie. Ya Tuhan, hidup macam apa ini???).
Kalau ada istilah orang kampung kita juga mengenal istilah "Kampungan". Istilah kampungan ini, yang kita sepakati, tidak mengenal batasan geografis dan tempat tinggal. Karena dia merupakan sifat. Jadi tidak hanya orang kampung saja yang kampungan, orang kota juga banyak. Tidak hanya orang berpendidikan SD, orang sekolah tinggi-tinggi pun banyak. Banyak perilaku kampungan yang menjalari di kehidupan kita sehari-hari. Tidak mau antri, membuang sampah sembarangan, dan lain sebagainya.
Terakhir, sampai saat ini saya selalu menyebut saya orang kampung karena asal-usul saya. Dan saya tidak ada masalah dengan itu yang penting saya tidak kampungan.
No comments:
Post a Comment