Thursday, April 25, 2019

Deutsch Anhänger von Cikarang*


oleh : hasan abadi kamil

Hari sudah jauh malam ketika sampai di terminal baru Cikarang. Sampai sekarang saya tidak mengerti dengan angkot-angkot di Cikarang. Dalam mencari penumpang, jarang sekali mereka mau ngetem giliran. Satu angkot ngetem, yang lain tunggu giliran. Yang ini tidak, semua angkot pada ngetem dan semuanya sibuk mencari penumpang.

Untungnya tidak terjadi gesekan ketika ini terjadi. Cuma satu yang dirugikan : para penumpang. Sebagai penumpang harus menahan sabar karena terkadang angkotnya membutuhkan waktu yang cukup lama untuk ngetem. Saya sendiri pernah merasakan ngetem sampai setengah jam!

Biasanya yang rutin "berlangganan" angkot di Cikarang punya trik sendiri. Kalau ditawari, biasanya menolak, dan untungnya para calo dan supir itu tidak ngotot "memaksa" penumpang. Kita pura-pura berjalan, dan ketika ada angkot yang nyodok, langsung memberhentikannya. Kita terhindar dari waktu ngetem yang lama.

Tepat pada malam sabtu itu saya menyetop angkot K17 yang sedang buru-buru. Karena kosong, saya memilih duduk di depan di samping pak supir yang sedang bekerja, mengendarai angkot supaya baik jalannya :).

"Malam ini pembukaan piala dunia ya?" Tanya sang supir. Kalau dari perawakannya sudah berumur juga.

"Iya. Pak. Bapak dukung siapa?"

"Saya mah dukung Jerman." Dia menceritakan bahwa dia mendukung Jerman mulai dia mengerti sepak bola.

"Si Muller, Hasler. Pokoknya "Er", "Er" nama pemain Jerman. Kalau Klose, Kuranyi itu kayaknya dari timur (mungkin maksudnya Eropa Timur)."

"Jangan-jangan nama anak Bapak juga ada Er-nya juga?" Tanya saya.

"Enggak. Susah manggilnya." For your information anaknya perempuan, tapi sedari kecil sudah dikasih seragam kesebelasan Jerman. Miroslave Klose dan Podolski bukan orang Jerman asli, mereka adalah orang Polandia. Bahkan ketika piala dunia 2006 di Jerman, Podolski "harus" menahan perasaan ketika menyarangkan bola di gawang Polandia, sementara orang tuanya duduk di barisan pendukung Polandia.

"Kenapa sih Bapak suka sama Jerman?"

"Wah saya mah gak tahu. Pokoknya resep aja ama Jerman. Mainnya kaku.  Saya kalau nonton liga Inggris atau Itali kalau ada orang Jermannya pasti saya dukung. Kayak si Bierhoff di Udinese, saya tonton. Terus kayak Lehman di Arsenal, saya dukung."Tandasnya."Saya juga suka ama Michael Shcumacher yang balapan itu. Terus saya juga seneng Boris Becker sama Stefi Graff. Dulu pas masih maen saya suka nonton."

Hei, hei, nih orang benar-benar pendukung Jerman sejati. Termasuk dia suka sama Scorpion, weleh..weleh.

"Kalau boleh masang lambang Nazi, saya pasang." katanya. Saya tertawa. Di Jerman lambang swastika Nazi itu sama haramnya dengan lambang palu arit di Indonesia.

"Dan saya paling enggak suka sama Belanda!" Tambahnya lagi. Saya tertawa keras, karena saya pendukung setia Belanda.

*Pendukung Jerman dari Cikarang

sumber gambar : pixabay
pernah di posting di sini

Wednesday, April 24, 2019

Haji Gusur


oleh : hasan abadi kamil

Kalau dari silsilah saya merupakan "campuran" dua suku. Bapak Sunda, Emak Betawi. Walau pun lahir di daerah Subang, namun sebagian besar hidup saya dibesarkan oleh sosio-kultural Betawi di daerah Bekasi. 

Bekasi yang merupakan daerah penyangga Jakarta, memiliki perbedaan walau pun sama-sama kultur Betawi. Bahasa kerennya kalau betawi di Jakarta disebut betawi pusat sedangkan yang di pinggiran Jakarta disebut betawi pinggiran. 

Kalau diperhatikan ada perbedaan kosa kata dan dialek antara pusat dan pinggiran. Untuk betawi pusat biasanya bicaranya banyak diakhiri oleh bunyi "e". Kalau betawi pinggiran tidak melulu diakhiri bunyi "e". Apalagi untuk daerah Cikarang sudah ada tambahan kosa kata yang berasal dari Bahasa Sunda.

bahasa indonesia              betawi pusat                  betawi pinggiran
bapak                                 babeh                            baba
ibu                                      nyak                              emak
kesenian lenong                lenong                           topeng
saya                                   aye, gue                        saya, gua

Orang Betawi sebenarnya agamis (baca Islam). Ini bisa dilihat dari upacara pernikahan dan khitanan. Maka tak heran kalau seseorang sekaliber M. Natsir pernah berkata, jarang sekali ditemukan orang betawi beragama di luar agama Islam.

Salah satu cita-cita orang Islam adalah menunaikan rukun Islam yang ke-5, pergi haji , menjadi tamu Alloh di Mekkah. Ini juga merupakan impian orang-orang betawi. Maka tak heran kalau ada seorang pelawak dari group Limau pada audisi API di TPI salah satu cita-citanya, kalau menang kontes, adalah memberangkatkan kedua orang tuanya untuk pergi haji.

Dalam rangka naik haji, salah satu caranya adalah dengan menjual banda (harta) yaitu tanah (kalau yang punya tanah). 

Pada tahun 80-an sampai 90 awal, seiring berkembangnya kota Jakarta maka dibutuhkan daerah industri dan perumahan di pinggiran Jakarta. Diliriklah daerah sekitar Tangerang dan Bekasi. Maka di saat itu banyak bermunculan Haji Gusur. Yaitu orang yang menunaikan ibadah haji karena setelah mendapatkan biaya penggantian penggusuran. Makanya dalam ceramah-ceramah ratiban orang yang mau pergi haji, Pak Ustad selalu menekankan ada tiga surat yang diperlukan untuk naik haji. Satu surat al-fatihah, kedua surat al-baqarah dan yang ketiga adalah surat tanah.

Dalam menunaikan ibadah ini mereka tidak berfikir setelah pulang dari Mekkah mau ngapain, soalnya kebun dan sawahnyasudah digusur dan duitnya sudah habis untuk naik haji. Biasanya dengan mantap mereka berkata, tidak ada yang miskin karena pergi haji (walau pun sawah ladangnya sudah berubah menjadi perumahan dan industri). Semangat beragama-nya lah yang menjawab ini.

Engkong dan nenek saya termasuk dalam angkatan haji gusur, sedangkan emak bapak saya sudah tidak termasuk lagi. Karena sudah tidak ada lagi sawah dan kebun yang bisa dijual untuk naik haji. 

Seiring beralihnya tanah-tanah dari pribumi ke pendatang maka seharusnya bergeser pula cara mendapatkan biaya untuk menunaikan haji. Seiring perkembangan zaman maka orang-orang betawi harus bisa menyesuaikan juga dengan perubahan zaman, ikut dalam kemajuan pembangunan dan ekonomi. Jangan hanya menjadi penonton kesuksesan orang lain. Pergi hajinya tetap ada, tetapi cara mencapainya bisa berbeda, asal halal. Setelah era haji gusur berakhir maka digantikan dengan haji biaya sendiri, haji karena nabung , haji karena keuntungan usaha dan lain-lain.

epilog
#1
Teman saya, seorang supir, mempunyai seorang boss, yang kebetulan bukan orang betawi. Sambil menyetir dia mendengarkan "suara" majikannya. "Lihat orang betawi kerjanya cuma nongkrong-nongkrong saja. Bagaimana bisa maju."
Teman saya hanya terdiam.
#2
Kebetulan abang saya ada yang kerja di Pertamina karena dia tukang insinyur. Dia mempunyai supir di kantor yang sama-sama orang betawi. Dia tampak bangga ketika ada orang betawi bisa masuk pertamina lewat jalur insinyur bukan supir seperti dia. Dia cuma bilang, coba bapak saya semaju pikiran bapak. mungkin saya tidak jadi supir.
#3
Dulu pas kuliah di Bandung saya ketemu dengan seorang pemuda dari Gabus (masih kabupaten Bekasi, dari Tambun  ngalor terus lewat kampung Siluman, terus aja jangan belok-belok nah nanti juga ketemu). Dia tidak percaya kalau saya bisa kuliah negeri di Bandung. Dia fikir saya anak lurah dan pake duit pelicin. (lurah dari Hong Kong. Bapak Kita mah cuma guru SD. Tahu sendiri kan gaji guru berapa)

catatan :
kalau dirasa ada subyektifitas yang kental, mohon dimaafkan karena ini bukan tulisan ilmiah yang melalui riset mendalam dan didukung data yang penuh. Ini hanya tulisan sejauh pandangan mata saya.(yang bisa aja kelilipan)


sumber gambar : pixabay
pernah dimuat di sini

Prospek Pekerjaan Lulusan Kimia



oleh : hasan abadi kamil


“Lu sebaiknya wiraswasta aja…”
“Memang kenapa?”
”Soalnya lowongan kerja buat lulusan kimia sedikit sekali.Coba Lu liat lowongan kerja di koran. Kalau buat jurusan teknik sih banyak”

Pernyataan seperti di atas pernah terlontar dari seorang kawan. Seorang lulusan kimia akan sangat sulit mencari kerja. Pilihannya tidak lain kerja di laboratorium, jadi pengajar (dosen atau guru) atau sekolah lagi2!
Kalau mau iseng-iseng mengadakan survey, maka bisa disimpulkan hanya sedikit para calon sarjana kimia yang sudah mempunyai gambaran akan kerja di bidang mana (masalah nanti diterimanya di bagian apa, itu lain soal). Ya bisa dibilang seorang lulusan kimia jarang tahu dia akan bekerja di mana nantinya.

Padahal kalau kita menelaah lebih dalam range jenis pekerjaan seorang lulusan kimia itu begitu luas, baik yang berhubungan langsung maupun tidak dengan kimia. Bahkan kita pun bisa bersaing dengan ”saudara sendiri” di farmasi atau teknik kimia! Karena apa-apa yang dipelajari di departemen kimia begitu luas.

Fakta di lapangan ada alumni menjadi peneliti di LIPI, BPPT, ada yang bekerja di oil company, bekerja di perusahaan water treatment dan pengolahan limbah, Quality Control, formulator di perusahaan obat dan kosmetik, menjadi seorang bankir, seorang programer, marketing, bahkan yang membuka lapangan pekerjaan sendiri pun tidak sedikit.

Ada beberapa hal yang membuat hal ini terjadi.

Kurangnya gambaran masa depan yang bisa diperoleh seorang mahasiswa kimia di departemen. Kalau pun dapat itu atas usaha sendiri. Kita bisa belajar dari departemen matematika ITB yang mengadakan mata kuliah profesi. Isi kuliah tersebut adalah tentang gambaran bidang pekerjaan yang bisa digarap oleh seorang lulusan departemen matematika. Metode pembelajarannya adalah presentasi dari para alumni yang sudah bekerja di berbagai bidang. Baik itu ada hubungannya dengan matematika atau tidak.

Luasnya yang dipelajari di departemen kimia. Saking luasnya kita bingung ingin expert di mana. Ditambah lagi kurangnya kuliah yang bersifat terapan. Sebagai contoh adalah departemen farmasi (sekarang sudah jadi fakultas sendiri) sudah ada kuliah yang spesifik tentang obat dan kosmetik. Khusus kosmetik mereka sudah ada kuliah tentang mengetahui apakah formula kosmetik tersebut bisa ”terjadi” atau tidak. Pengenalan alat-alat pengolahan kosmetik dan metode identifikasi dari kosmetik. Baik itu memakai instrumen atau yang sederhana. Sebagai contoh kalau seorang masuk perusahaan kosmetik akan ditanya, bagaimana caranya mengetahui produk cream yang baik? Tidak memakai instrumen GC atau instrumen yang lain. Jawabnya cukup sederhana : Cukup dilihat hasilnya pecah atau tidak seperti pecahnya santan kelapa. Dan hal itu diajari di kuliah-kuliah mereka. Padahal kalau dilihat kasus-kasus di perusahaan kosmetik, banyak hal-hal yang bisa dipecahkan lebih mengena oleh seorang lulusan kimia. Namun karena kurangnya kuliah bersifat terapan maka itu membuat para lulusan kimia berguguran di awal atau kalau masuk harus bekerja ekstra keras untuk mengejar ketertinggalannya. Tak sedikit cerita kita dengar ketika mereka mentok di pekerjaannya, lulusan kima-lah tempat yang tepat untuk bertanya.

Selain mengadakan kuliah keprofesian dan kuliah yang bersifat terapan, solusi lain yang bisa diterapkan adalah menjalin hubungan yang erat antara departemen kimia dengan para alumni. Di sinilah kiranya forum ikatan alumni bisa berperan. Bagi seorang alumni kimia yang bekerja di bidang proses pasti akan merekomendasikan adik-adik kelasnya dibandingkan para lulusan teknik, karena berdasarkan pengalamannya lulusan kimia tidak kalah juga. Atau seorang alumni yang bekerja di perusahaan kosmetik akan memilih adik angkatannya karena untuk mereformulasikan produk kosmetik, lulusan kimia sama hebatnya dengan lulusan farmasi. Ada seorang sarjana kimia bekerja di bagian logistik di chemical company milik PMA karena asdir-nya lulusan kimia. Mudah-mudahan dasar pemilihan ini bukan atas dasar ”sependeritaan seperjuangan” melainkan karena kompetensi yang mumpuni. Dan yang paling luar biasa adalah ketika seorang lulusan kimia bisa membuka lapangan pekerjaan.

”Tulisannya bagus juga. Kenapa gak diomongkin ke departemen?”
”Jangan saya deh.”
”Kenapa?”
”Kalau saya yang ngomong kebanting.”
”Kenapa?”

”......”

sumber gambar : pixabay
pernah dimuat di sini

Berorganisasilah, Itu Lebih Baik!



Oleh : hasan abadi kamil

Salah satu saran dari Barack Obama untuk menghasilkan orang sekualitas dia, yang muda yang berkarya, ikutilah organisasi selama di bangku kuliah. Pesan ini juga yang disampaikan abang tertua saya ketika memasuki dunia kuliah. Kalau kuliah jangan Cuma belajar aja, begitu katanya.

Mengikuti organisasi di sini adalah dengan mendaftarkan diri di unit kegiatan kesenian, pendidikan, himpunan mahasiswa juruan/ departemen, keagamaan atau ekstrakulikuler lainnya. Mengikuti di sini juga berarti ikut dalam segala dinamika dan mencoba mendinamisasinya. Bukan hanya sekedar tercantum dalam kartu anggota atau numpang nokrong dan jadi ”jurig himpunan.”*

Dalam berorganisasi akan didapat soft skill, hal-hal yang tidak pernah didapatkan dari tebalnya buku teks dan atau mulut dosen. Walau pun mengambil kuliah Termodinamika sekali ambil**. Walau pun nilai kalkulus hatrick A***.

Soft skill itu meliputi cara mengemukakan ide, bekerja sama dengan orang yang berbeda ide dan latar belakang, menghadapi perbedaan dan lain sebagainya. Selain itu juga melatih membagi waktu dan konsentrasi. Ini akan terasa sekali ketika kita memasuki dunia luar kampus atau dunia kerja.

Beberapa kali saya mendapatkan anak buah dari sebuah sekolah kejuruan yang cukup terkenal di sebuah kota di provinsi Jawa Barat. Anak yang terbiasa berorganisasi biasanya lebih sabar, lebih luwes, lebih berinisiatif dan bisa mencapai sasaran kerja. Sehingga dalam perkembangan karir, kalau sebagai karyawan atau perkembangan usahanya kalau jadi wiraswasta lebih cepat bersinar walau pun kemampuannya biasa-biasa saja. Bisa jadi ini fakta yang bisa diperdebatkan, tapi itulah yang sering saya temui sehari-hari.

Note:
*Jurig himpunan secara harfiah adalah setan himpunan (Jurig = Setan. Sunda). Sebutan ini dialamtkan kepada anak-anak yang aktif di unit himpunan sampai-sampai makan minum main dan tidur di himpunan. Bukan berarti tidak punya rumah atau diusir dari rumahnya.
**Di departemen kimia ITB, kuliah termodinamika sempat jadi momok. Jarang sekali orang yang mengambil langsung lulus. Biasanya harus mengulang, bahkan sampai hattrick.
***Kalkulus terbagi menjadi tiga. Kalkulus 1, 2 dan 3. Waktu ngambil dapet nilai C, D dan E.

sumber gambar : pixabay
pernah dimuat di sini

Monday, April 22, 2019

Lampu-lampu yang Tidak Pernah Padam


oleh : hasan abadi kamil

Indonesia sedang dilanda krisis listrik sekarang. Cerita pemadaman bergilir sudah hal yang biasa. Termasuk di daerah Kebon Nanas Kecamatan Pinang, Kota Tangerang.

Pemadaman bahkan bisa terjadi tiga kali dalam sebulan. Dan sekalinya pemadaman biasanya makan waktu berjam-jam. Namun beberapa ratus meter berjalan, ada dua titik yang jarang sekali mengalami pemadaman : perumahan sekretariat negara dan bona sarana indah.

"Wah, kalo sekneg ama bona mah jarang banget mati." Begitu kata Bang Usup, yang setiap malam mangkal dekat SDN Panunggan Utara 9 berjualan nasi uduk.
Pendapat Bang Usup ini pun diamini oleh orang-orang di sekitarnya.
"Kalo sekneg mati, kita nyala?" Tanya seorang pembeli.
"Enggak. Kalau sekneg mati, kita lebih parah lagi." Jawab Bang Usup.

Entah kenapa hal ini bisa berbeda, namun rumor yang beredar di masyarakat sekitar, perumahan sekneg dan bona sarana indah itu ada orang PLN-nya. Tentu rumor ini harus dibuktikan kebenarannya. Namun yang pasti karena setiap orang yang punya listrik bayar ke PLN, harusnya tidak boleh ada perbedaan jatah pemadaman, dengan alasan apa pun. Kecuali kalau memang listrik punya bapak moyang-nya orang-orang itu.

sumber gambar : pixabay
pernah dimuat di sini

Thursday, April 4, 2019

Enak!

Saya suka gelagepan, kalau ditanya soal makanan. Makanannya enak atau tidak?

Selama kuliah saya pernah tinggal di asrama mahasiswa. Sebuah tempat yang sebagian besar penghuninya adalah mereka yang tidak mampu membayar kost di luaran sana. Dan sebagian mereka belum tentu bisa makan tiga kali setiap harinya. Jadi sudah bisa makan saja sudah sebuah kenikmatan hidup. Karena bagi mereka di dua ini hanya ada dua jenis makanan : enak dan enak sekali.

Jadi tahu dong jawaban saya : Enak!

aku terlupakan zaman

tak apa-apa, 
aku terlupakan zaman, 
seperti sebutir pasir terbenam di hamparan pantai

aku yang tidak diingat
aku yang tidak disebut
aku yang tidak dicari
aku yang tidak dikunjungi

itulah aku

tak apa-apa

terlupakan waktu, bukan berarti aku tak ada


ketika mati datang

seperti hari yang mendung
berada di pojokkan
sendirian
dingin