Friday, November 20, 2020

Dengan Hewan Peliharaan Membuatmu Bersyukur Sebagai Manusia



"Kalau hidup sekedar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau bekerja sekedar bekerja, kera juga bekerja" - HAMKA

Sejak memelihara seekor kucing jantan, yang diperoleh dari mengadopsi dari seseorang yang belum dikenal, membuat saya bersyukur menjadi seorang manusia. Karena dengan mengamati tingkah laku sehari-harinya ternyata ada perbedaan yang jelas antara manusia dan seekor binatang.

Kucing yang saya pelihara ini bernama Keling, karena sekujur tubuhnya, sampai ke kumis dan telapak kakinya berwarna hitam. Kehitamannya ini sering jadi bahan bercanda di keluarga, bahwa Keling ini dalam proses penciptaannya telah tercebut ke ember yang berisi tinta hitam. Kalau kucing lainnya cukup dioles dengan kuas seingga ada kucing belang, kucing hitam putih atau candramawat, eh khusus Keling dia basah kuyup oleh tinta hitam. Khusus yang ini jangan dianggap serius ya, namanya juga bercanda.

Awalnya kucing ini diadopsi untuk menjadi peliharaan kedua yang sudah lama menginginkan binatang peliharaan. Namun lambat laun, saya yang mengalami work from home berbulan-bulan, jadi ikut-ikutan memeliharanya dan mengobservasi perilakunya. Hasil observasi inilah yang menuntun saya sampai pada sebuah kesimpulan besar ini.

Keling ketika diadopsi ini sudah berusia 8 bulan dan ketika tulisan ini dibuat dia sudah berusia satu tahun. Kucing dalam usia setahun itu setara dengan usia 15 tahun untuk ukuran manusia. Di saat itu dia sudah mengalami birahi dan siap untuk kawin.

Yang menjadi bahan perenungan adalah bagaimana Keling ini menghabiskan hidupnya. Hidupnya ini berkutat di seputar hardolin-dahar modol ulin (makan, buang air, bermain) kalau kata orang Sunda. Hidupnya ini hanya makan, tidur, main, buang air dan bercinta. Tidak lebih dari itu. Jadi jangan berharap dia pagi-pagi bersiap untuk pergi berangkat kerja dan mencari nafkah. Atau tiba-tiba ikut ronda menjaga komplek bersama warga. Dijamin hal itu tidak pernah terjadi.

Melihat kelakuannya seperti itu, saya sempat emosi, mengapa kucing ini kerjaannya tidur terus? Dia bahkan pernah tidur dari pagi sampai pagi lagi. Sesekali terbangunn hanya untuk makan dan buang air. Sisanya tidur terus. Pernah sewaktu-waktu, saya paksa dia bangun dari tidurnya kemudian saya suruh keluar rumah. Mencari udara segar dan melakukan aktivitas yang berguna. Bebrapa menit kemudian ketika saya buka pintu, dia sedang tidur di atas keset rumah. Jadi mau di dalam atau di luar rumah dia tetap memilih tidur.

Saya pun jadi uring-uringan melihatnya. Sampai pada suatu saat istri saya menegur , "namanya juga binatang. Wajar seperti itu kerjaannya. Cuma makan tidur sama main". Dari sini saya tersadar, bahwa antara saya sebagai manusia dan Keling sebagai binatang ada sebuah perbedaan yang cukup besar. Jadi rasanya tidak adil kalau saya memperlakukan dia, seperti saya memperlakukan kepada anak-anak manusia yang saya miliki.

Dari sinilah titik baliknya kesadaran saya muncul. Saya bersyukur dilahirkan sebagai manusia bukan sebagai kucing. Walau pun hidup saya penuh dengan kewajiban, harus mencari nafkah, mendidik anak, membina hubungan, dan lain sebagainya, saya merasa bersyukur menjadi manusia. Walau pun kadang-kadang suka nyeletuk sambil mengusap-usap bulu Keling, "Enak sekali hidupmu Keling. Hanya makan tidur dan bermain. Tidak harus memikirkan apa-apa". Itu hanya sebuah celetukan saja bukan cita-cita. Saya takut ketika berkata seperti itu, tiba-tiba Tuhan mengabulkannya begitu saja.

Mengapa saya bersyukur manusia, karena saya mempunyai akal dibandingkan Keling ini. Akal yang telah dieksploitasi manusia sehingga manusia telah mempunyai kebudayaan tingkat tinggi. Dahulu sekali manusia dan kucing sama-sama telanjang, sama-sama berburu untuk makan. Sekarang manusia sudah memakai baju beragam model dan bahan, makan dengan beragam menu, sedangkan kucing masih saja telanjang dan berburu tikus untuk makan. Walau pun di beberapa komplek perumahan kucing-kucing ini sudah kehilangan "keliarannya" karena diasupi makanan kemasan yang siap makan.

Nah, karena derajat manusia itu lebih tinggi dari binatang, maka kalau ada yang kelakuannya seperti binatang, dia jauh lebih hina dari binatang. Binatang seperti itu karena dia tidak mempunyai pilihan, sedangkan manusia mempunyai pilihan mau seperti apa. Maka sesuatu berharga yang kita terima dari Sang Pencipta, pergunakan sebaik-baiknya agar kita bisa membuktikan bahwa kita lebih tinggi derajatnya dari binatang.

No comments:

Post a Comment