Tuesday, November 17, 2020

Bukan Kripik. Dari Mengkritik Jadi Dikritik



Dulu saya suka hasil karya orang lain, baik berupa tulisan maupun yang lain. Kok jelek ya? Kayak begini berani ditampilin? Saya bisa buat yang lebih bagus. Namun lucunya setelah puas mengomentari saya tidak membuat apa-apa juga. Hanya menjadi tukang kritik, tukang menilai saja. 

Lama-kelamaan muncul kesadaran, kok bisanya ngeritik terus? Kalau bisa buat yang lebih bagus kenapa enggak dicoba aja. Nah ternyata dari sini, saya tahu bedanya antara pemain dan komentator. Memang susah ternyata. Seolah mudah ketika menilai, namun terasa berat ketika mengerjakan sendiri. Jadi kalau lihat karya orang yang sepertinya biasa-biasa saja, saya komentari bagus karena memang prosesnya tidak mudah. Saya kasih bagus untuk usahanya. 

Kalau begini saya jadi teringat sama Pak Tino Sidin dulu, pengasuh acara menggambar anak di TVRI tahun 80-an. Setiap karya anak yang masuk, selalu dibilang bagus. Padahal gambarnya seperti abstrak tidak jadi. Maksudnya mau gambar bentuk, malah jadi abstrak alias jelek. Baru sekarang saya paham arti kata bagus dari Pak Tino Sidin. Bagus untuk upayanya membuat karya, bagus untuk dikirimkan, dan bagus untuk berani tampil di depan banyak orang.

Dari sini juga saya mulai beringsut posisinya. Saya coba-coba mulai mengirim tulisan dan hasil foto ke situs-situs yang ada di internet. Saya mulai membuat tulisan dan posting di linkedin sambil deg-degan. Ada yang suka gak ya? Kalau ada yang bertanya, bisa jawab tidak ya? Terus juga mulai mengirim tulisan ke mojok.co dan coba ke situs yang lain juga. Dan sedari awal saya sudah siap-siap kalau karya saya tidak langsung dimuat atau menerima kritikan seperti dulu saya suka mengkritik. Kalau foto sudah berkali-kali kirim masih saja ditolak. Tidak apa-apa, semuanya jadi bahan peningkatan diri.

Namun walau pun kadang menyebalkan, tukang kritik tetap dibutuhkan. Karena mereka itu bisa melihat sisi yang tidak terlihat (blind spot) oleh kita (heran dari mana mereka punya kemampuan itu!). Dan kalau kita cerna pelan-pelan setelah emosi mereda, sesungguhnya itu adalah harta yang tidak ternilai. Dengan kritiknya kita bisa lebih baik dan mereka hanya tetap menjadi seorang tukang kritik saja!  


Gambar oleh Please Don't sell My Artwork AS IS dari Pixabay 

No comments:

Post a Comment