Sunday, September 16, 2018

Saya, Gandhi dan Kepemimpinan

Pernah di sebuah masa, saya berpendapat bahwa kepemimpinan itu memang benar-benar dilahirkan. Pendapat ini berasal dari pengamatan saya waktu kecil. Biasanya ketika dalam permainan (sebelum gadget dan internet merebutnya) ada sosok anak yang menonjol. Dia yang biasa memimpin teman-temannya. Mulai dari memilih permainan dan sebagainya. Biasanya ciri anak ini mempunyai kepercayaan diri yang tinggi. Plus ditambah suara yang keras dan penampilan yang menarik.

Jadi saya yang introvert dan minder tidak yakin akan menjadi seorang pemimpin yang baik. Mulai dari SD sampai tamat SMA, saya hanya sekali menjadi ketua kelas. Itu terjadi pas kelas enam. Itu semata-mata, saya ditunjuk karena saya adalah anak Kepala Sekolah SD dimana saya belajar.

Keyakinan saya mulai terganggu ketika menginjak masa-masa SMP. Suatu saat saya membeli majalah HAI edisi khusus yang berjudul "Yang Terkemuka, Yang Terbunuh". Di dalamnya dibahas mengenai tokoh Gandhi. Di dalam tulisannya diceritakan bagaimana kharismatiknya seorang Gandhi. Setelah India menerima kemerdekaan dari Penjajah Inggris, India dirundung perseteruan antara Hindu dan Muslim. Masing - masing pihak ingin saling memisahkan diri dan membentuk negara sendiri-sendiri. Gandhi menentangnya. Sebagai salah satu tokoh penggerak kemerdekaan India, Gandhi paham betul soal itu. Dia mengeluarkan statement : belahlah tubuhku sebelum India dibelah.
Dalam satu halaman diceritakan setiap kali kaum Hindu dan Muslim bunuh-bunuhan, Gandhi langsung "mengancam" bahwa dia akan puasa terus menerus sampai saudara-saudara yang Hindu dan Muslim berdamai.

Mengetahui guru yang mereka cintai berpuasa, yang saling baku pukul, langsung berhenti dan bergandengan tangan di jalan-jalan India meminta Gandhi menghentikan puasanya. Sungguh hal yang luar biasa dari sesosok bernama Gandhi. Mengapa saya begitu tertarik dengan tokoh Gandhi ini karena dibandingkan tokoh-tokoh lain di majalah HAI tersebut, dia secara fisik biasa-biasa saja. Bandingkan dengan John F. Kennedy yang flamboyan atau Abraham Linclon yang tinggi besar.

Perkenalan saya dengan Gandhi terus berlanjut. Ketika sedang belajar di perpustakan menghadapi ulangan saya menemukan sebuah buku biografi Gandhi.  Beberapa hal yang saya ingat adalah Gandhi itu termasuk orang yang pemalu dan bersuara lemah. Hal ini semakin mengganggu konsep kepemimpinan yang saya pegang.

Kepemimpinan Gandhi, sungguh menginspirasi saya. Tidak dengan suara yang keras, fisik yang kekar-berotot atau iming-iming harta dia mampu menggerakkan rakyat India dalam mencapai kemerdekaan. Kepemimpinannya membuka mata saya bahwa ada sebuah kepemimpinan yang tidak membutuhkan keahlian pidato, tampang rupawan atau banyak harta. Setelah sekian lama mengenalnya, yang membuat Gandhi bisa menjadi pemimpin yang baik karena integritasnya. Integritasnya ini melebihi segala kelemahan fisik yang dia punya.

Ini ada sebuah cerita yang pernah saya dengarr. Pada suatu hari, dia didatangi seorang ibu dengan menggandeng anaknya. Dia meminta Gandhi menasehati anaknya yang masih suka makan permen. Gandhi pun menyanggupinya.

Setelah hari itu, Gandhi belum menasehati sang anak. Si Ibu pun kembali mendatangi Gandhi untuk menasehati anaknya. Dan Gandhi tetap belum menasehati sang anak.

Hingga suatu saat, setelah cukup lama, Gandhi baru menasehati anak itu. Dia mengatakan bahwa makan permen itu tidak baik. Bisa merusak gigi. Bukannya berterima kasih, sang ibu malah protes kepada Gandhi. Mengapa baru sekarang dia menasehati anaknya. Setelah berulang kali dia memintanya. Gandhi menjawab dengan simpel. Sebenarnya saya suka makan permen. Ketika Ibu meminta saya menasehati anak ibu saya membutuhkan waktu untuk berhenti makan permen. Baru saya berani menasehat anak Ibu.

Itulah menjawab semua pertanyaan saya selama ini mengenai kepemimpinannya, sekaligus menggugurkan "mitos" kepemimpinan yang saya pegang. Kepemimpinan memang bisa dilahirkan. Tapi dia lebih banyak dihadirkan/ dibangun. Salah satunya Gandhi. Kalau ingin menjadi pemimpin yang baik, maka marilah kita mulai dengan membangun integritas.

catatan tambahan:
saya pernah membahasnya juga di sini http://thenangkalandaks.blogspot.com/2010/05/gandhi-suka-permen.html


Orang Kampung dan Kampungan

Pertama kali mendengar istilah "Orang Kampung" adalah ketika saya masih masih berusia Sekolah Dasar (SD). Bapak saya yang seorang guru, membuat kami hidup berpindah-pindah mengikuti pengabdiannya sebagai pengajar. Saya cukup banyak menghabiskan masa kecil di sebuah daerah di Kabupaten Bekasi. Sebuah daerah yang dikategorikan "Kampung", dimana masih banyak sawah ladang, tanah lapang dan sungai-sungai di sekeliling kami tinggal.

Hingga pada suatu saat datang para pengembang ke tempat kami. Meratakan semuanya dengan timbunan tanah dan batu-batu. Di atasnya berdiri deretan perumahan tipe 21, 36 dan 45: sebuah perumahan baru telah muncul. Plus dengan orang-orang pendatangnya.

Kebanyakan para penghuni adalah orang-orang pindahan dari luar kampung, terutama dari Jakarta. Kami mengenal mereka sebagai "Orang BTN". Sebutan yang disematkan karena pemilikan rumah mereka menggunakan jasa Kredit Pemilik Rumah (KPR) dari Bank Tabungan Nasional (BTN). Yang suka diplesetkan menjadi Beli Tapi Nyicil. Dan mereka menyebut kami sebagai "Orang Kampung".

Pada awalnya kata orang kampung adalah kata yang netral. Kata yang dimaksudkan untuk menyebut para penduduk asli; orang yang duluan tinggal; yang tinggal di luar kompleks perumahan. Namun kata ini menjadi tidak netral dan tidak enak kedengarannya ketika kata orang kampung dipenuhi dengan hal-hal yang jauh dari "peradaban orang kota". Susah diatur, jorok, tidak punya sopan satun, norak, tidak berpendidikan dan lain-lain. "Jangan maen sama orang kampung, nanti kamu bakalan bla bla bla". Mungkin kita pernah mendengar nasehat seorang ibu seperti ini kepada anaknya ketika pulang bermain.

Dan ternyata sampai saya berpindah-pindah kota karena tinggal dan bekerja, istilah orang kampung ini banyak juga pemakainya. Menjadi sebuah kata yang universal. Dan enggak enaknya itu karena dimaknai embel-embel di atas tadi. Alih-alih menyebut orang kampung, saya yang pernah tinggal di komplek perumahan sebuah kota mandiri di Cikarang, lebih suka menyebut para orang kampung tersebut dengan sebutan : "Orang Sini".

Dan terakhir di sebuah kolam renang untuk umum di bilangan Bandung Tengah, istri saya mendengar komentar  yang menyebut anak-anak kampung ketika melihat sekelompok anak usia SD berenang dengan kulit yang legam, tidak memakai celana renang ikut berenang. Begitu mendengar itu, ingatan saya langsung melesat ke masa kecil saya. Dan jujur tulisan saya ini terpicu karena itu. Istri saya membalasnya dengan bergumam," ngaku orang kota, tapi pop mie ke anak batita". (memang waktu kejadiannya, si ibu muda itu sedang menyuapi anaknya yang masih kecil dengan pop mie. Ya Tuhan, hidup macam apa ini???).

Kalau ada istilah orang kampung kita juga mengenal istilah "Kampungan". Istilah kampungan ini, yang kita sepakati, tidak mengenal batasan geografis dan tempat tinggal. Karena dia merupakan sifat. Jadi tidak hanya orang kampung saja yang kampungan, orang kota juga banyak. Tidak hanya orang berpendidikan SD, orang sekolah tinggi-tinggi pun banyak. Banyak perilaku kampungan yang menjalari di kehidupan kita sehari-hari. Tidak mau antri, membuang sampah sembarangan, dan lain sebagainya.

Terakhir, sampai saat ini saya selalu menyebut saya orang kampung karena asal-usul saya. Dan saya tidak ada masalah dengan itu yang penting saya tidak kampungan.