Thursday, February 11, 2021

Tuhan pun Mendatangkan Nabi

Meja yang rapih

Atasan saya pernah ngomong seperti ini kepada saya. Seorang atasan kalau tidak setuju, walau pun tidak ngomong, tidak akan pernah terwujud. Misalnya kita mengusulkan sebuah program, sebenarnya atasan kita tidak menyetujuinya. Namun karena tidak enak hati atau merasa kasihan kepada kita akhirnya dia pun menyetujui program tersebut. Jadi lain di mulut lain di hati. Karena pada dasarnya tidak setuju, program itu tidak pernah berjalan atau kejadian sama sekali, walau pun mulutnya mengatakan oke-oke saja.

Teman saya pernah mengalami hal seperti itu. Ketika pertamakali diterapkan program 5R di direktoranya, direkturnya setuju-setuju saja. Karena program itu memang program dari pusat jadi wajib sifatnya. Namun karena sang direktur itu belum memahami benar dan ada perbedaan persepsi mengenai 5R akhirnya program 5R di direktoratnya tidak berjalan dengan baik. Bayangkan itu saja yang berbeda persepsi, belum sampai menolak. Apalagi kalau menolak.
Sejatinya kalau sebuah program digulirkan maka yang menjadi pimpinan dari program tersebut adalah orang yang jabatan tertinggi di dalam ruang linkup program itu diterapkan. Misal kalau 5R itu merupakan program seluruh perusahaan, maka program tersebut dipimpin oleh direktur utamanya. Teman saya yang bekerja di perusahaan Jepang pernah cerita mengenai hal ini. Ketika kantor pusat di Jepang menginstruksikan penerapan 5R di perusahaan yang ada di Jepang, yang dipanggil adalah direktur perusahaan yang ada di Indonesia. Dia dipanggil ke Jepang, diberikan training dan diminta membuat tim penerapan program tersebut.

Setelah selesai training, si direktur ini langsung memimpin program ini. Dia mentraining semua GM dan managernya. Setelah itu para GM dan manager mentraining ke seluruh bawahannya masing-masing.

Dan tidak hanya sampai di situ, walau pun didukung oleh tim, sang direktur ini tetap memegang komando. Bahkan dia sendiri melakukan inspeksi secara rutin setiap pekannya. Dia datang ke kantor dan shop floor. Dia periksa semuanya. Kalau ada temuan dia tanyakan dan seterusnya. Kemudian pekan depan, di inspeksi berikutnya dia akan memeriksa perkembangan dari temuan itu apakah ada perbaikan atau tidak.

Karena program ini dipimpin langsung oleh pimpinan tertinggi maka prosesnya pun bisa dengan berjalan lancar. Tak ada yang berani menentang program karena orang yang nomor satu di perusahaan yang memimpin langsung. Hanya yang mau mencari mati aja yang mau menolak. Jadi baik suka atau tidak, mau tidak mau harus mengikuti. Seiring dengan waktu yang awalnya terpaksa namun karena intens dilakukan lama-lama akhirnya jadi suka.

Yang perlu diingat adalah bahwa ketika seorang pemimpin memimpin sebuah programa harus dimulai dari diri sendiri (lead by example). Karena sebagus apa pun programnya kalau tidak ada contoh atau role model-nya maka program tersebut tidak terwujud. Karena para bawahannya akan melihat standar tertinggi perilakunya ada di para pemimpin. Ini sesuai dengan cerita teman sekaligus guru saya seorang shop floor specialist. Ketika dia membantu sebuah perusahaan menerapkan 5R, programnya berjalan kurang lancar. Padahal pimpinannya rajin sekali melakukan inspeksi sepekan sekali. Setelah dirunut ternyata masalahnya di dia. Walau pun dia rajin memeriksa meja anak buahnya, ternyata meja dia sendiri masih berantakan. Sama teman saya ditanya kenapa mejanya masih berantakan? Dia menjawab dengan berbelit-belit. Langsung saja dibalas oleh teman saya kalau programnya mau lancar harus dimulai dari meja bapak terlebih dahulu. Singkat cerita pemimpinnya ini mau membereskan mejanya dimulai dengan meringkasnya terlebih dahulu (Ringkas atau seiri adalah R yang pertam dari 5R). Setelah itu karena meja pemimpinnya sudah rapih, tidak butuh waktu lama meja para bawahannya ikut rapih.

Jadi tingkat keberhasilan sebuah program itu tergantung sekali kepada keterlibatan pimpinan tertinggi di dalam program tersebut. Hal ini juga dikuatkan dengan penuturan teman saya yang ibunya adalah direktur rumah sakit milik umum milik pemerintah. Waktu Ibunya memimpin penerapan ISO 9001 mereka dibantu seorang konsultan senior. Pada awal penerapan sang konsultan ini bicara seperti ini : Tingkat keberhasilan penerapan program, cepat atau lambat, berhasil atau tidak sudah bisa diperkirakan dari awal. Dia bisa memprediksinya dengan melihat apakah pimpinan tertingginya ikut terlibat atau tidak. Kalau terlibat, mendukung penuh bisa cepat dan berhasil. Kalau tidak, ya kalau tidak mau dibilang berhasil, prosesnya lama sekali.

Di dalam memimpin program tersebut sang pemimpin sedang mempraktekkan kepemiminpinan (leadership). Di tempat kami leadership itu diartikan menjadi tiga yaitu :

- Ing ngarso sing tulodo, di depan memberikan contoh.
- Ing madya mangun karso, di tengah membangun kemauan.
- Tut wuri handayani, di belakang mendorong.

Di depan harus memberi contoh atau teladan. Karena pemimpin itu dianggap sebagai standar perilaku tertinggi oleh para bawahannya. Selain itu juga ketika menerapkan sebuah program, para bawahannya juga masih bingung bentuk perilakunya seperti apa. Makanya ketika menurunkan agama untuk merubah manusia, Tuhan menurunkan seorang Nabi untuk menjadi contoh (role model) sehingga umat-Nya tahu bagaimana menjalankan agama tersebut. Saya pernah baca ketika Nabi Muhammad SAW pergi ibadah haji, dia diperintahkan untuk takbir, menyembelih hewan kurban dan memotong rambut. Ketika dia memerintahkan kepada kaum muslimin yang berhaji tidak ada yang menurutinya. Kemudian Nabi Muhammad SAW masuk ke tenda dan bercerita soal itu kepada istrinya. Istrinya memberi saran untuk memberikan contoh atau melakukannya terlebih dahulu. Nabi pun mengikuti saran istrinya. Dia keluar dari tenda terus takbir, menyembelih hewan kurban dan memotong rambut. Setelah itu para kaum muslimin mengikuti tindakannya.

Di tengah membangun kemapuan. Untuk melaksanakan sesuatu atau membuat orang berubah, mereka harus dibangun kemauannya. Setelah diberi contoh bisa saja masih banyak yang tidak melaksanakannya. Di sini pemimpin memainkan peranan yang kedua. Dia mengajarkan, mentraing, mentoring dan coaching kepada para bawahannya.  Dari sini bisa tumbuh kemauan dan kemampuannya untuk melaksanakan sebuah program. Jadi yang dibangun bukan hanya kemauannya saja termasuk kemampuannya juga. Sering dialami ketika ada sebuah perubahan, para bawahannya sudah menyadari bahwa perubahan itu memang perlu. Mereka juga sudah timbul kemauannya untuk berubah, namun pertanyaan berikutnya muncul kalau mau berubah caranya bagaimana? Jadi kita juga harus membekali mereka kemampuan untuk melakukan perubahan.

Kalau semua berjalan dengan baik, pemimpin memainkan peranan di sini. Kita mendelegasikan beberapa tugas ke bawahannya atau mendukung inisiatif atau usulan-usulan untuk mensukseskan program yang berlangsung yang datang dari mereka. Mendukung di sini adalah menghilangkan hambatan-hambatan yang menghalangi seperti butuh dana, butuh kerja sama dengan bagian lain, butuh persetujuan dari otoritas yang lebih tinggi dan lain sebagainya.

Jadi yang bisa disimpulkan, ketika ingin sebuah program mencapai keberhasilan, yang terbaik adalah dipimpin oleh orang dengan jabatan tertinggi di ruang lingkup area tersebut. Tentunya dia tidak bekerja sendirian, dia harus mempunyai tim yang mendukungnya, namun inisiatif memimpinnya dari dia. Terus sang pemimpin harus memainkan tiga peranan itu dalam pelaksanannya. Mudah-mudahan dari tulisan ini ada manfaat yang bisa diambil.

Photo by Aleksi Tappura on Unsplash

No comments:

Post a Comment