Menyarankan sebuah kebaikan, namun kitalah yang sebenarnya membutuhkannya
Boleh dibilang sedari sulu saya paling malas bila diminta untuk menasehati orang lain. Pernah orang tua dan abang meminta saya untuk menasehati adik. Alih-alih menasehati seperti yang diminta, saya mengubah kata-katanya sehingga jauh dari kesan menasehati. Diubah sedikit saya pikir tidak apa-apa asalkan maksudnya tersampaikan.
Mengapa saya malas menasehati orang? Saya merasa belum layak untuk menasehati orang lain. “Diri sendiri saja belum benar, ini malah mau menasehati orang lain”, begitu kata hati berkata. Saya ingin orang lain dinasehati secara “tidak langsung”, berasal dari perbuatan saya bukan dari kata-kata saya.
Menurut saya orang yang terlalu sering menasihati dengan kata-katanya belum tentu menjadi pribadi yang paling ingin dinasehati. Kalau tidak percaya coba saja. Setidaknya saya pernah bertemu dengan orang-orang dengan model seperti ini. Baik di lingkungan keluarga maupun pekerjaaan.
Kalau ada yang berbuat kesalahan, dengan mudah mulutnya mengeluarkan kata-kata terbaiknya. Kalau perlu diulang-ulang. Atau selalu siap sedia untuk memberikan nasehat. Namun kalau dia yang sedang tersandung kesalahan, dia sudah pasang kuda-kuda untuk “menangkis” kalau ada “serangan” nasihat yang dilancarkan orang lain. Dia punya banyak alasan untuk membenarkan aksinya atau membuat dia tidak terlihat salah. Mereka ini yang rajin menasehati ini berperilaku seperti ini karena mereka tahu bagaimana tidak enaknya menjadi obyek yang dinasehati.
Selain itu, saya setuju pendapat Diogenes dari Sinope. Sesungguhnya kebenaran itu ditujukkan untuk kita bukan untuk orang lain. Jadi kalau kita dengan mudahnya memberikan nasehat, bisa jadi sebenarnya itu ditujukkan untuk diri kita sendiri. Ibarat jari-jari tangan ketika menunjuk, hanya dibutuhkan satu jari untuk menunjuk orang lain dan sisanya ke diri sendiri.
Pada suatu hari Diogenes dan Aristippos, guru sekaligus rivalnya, diundang dalam sebuah jamuan makan malam. Di meja mereka sudah terhidang beberapa ikan goreng.
Diogenes pun buru-buru mengambil ikan-ikan yang besar dan menyisasakan yang kecil-kecil.
Melihat hal itu Aristippos berkata, “kalau saya menjadi kamu, sauya akan mengambil ikan-ikan yang kecil saja.”
“Makanya aku sisakan kamu ikan-ikan yang kecil!” Balas Diogenes.
Di dalam kehidupan sehari-hari, sebagian besar kita sering berperilaku seperti Aristippos. Mengeluarkan kata-kata, kalau saya menjadi kamu saya akan; menyarankan sebuah kebaikan, namun kitalah yang sebenarnya membutuhkannya. Sebagai contoh pernahkah kita dengar potongan-potongan cerita ini di bawah ini ?
1. Seorang Bapak yang menyarankan tetangganya untuk merestui anaknya membuka usaha, sementara terhadap anaknya sendiri, dia menyuruh melamar menjadi karyawan ke sana kemari.
2. Seorang ibu yang tidak bisa menyembunyikan kekaguman kepada kolega sepengajian-sepengarisan yang mau bermantukan seorang ustadz yang sederhana, namun agak emosi ketika anak perempuannya mempunyai niat yang sama.
3. Seorang bapak yang terheran-heran ketika teman anaknya yang ditolak lamarannya gara-gara berbobot di atas 100 kilo. Dan dia langsung terdiam ketika anaknya bertanya, bagaimana kalau pria tambun tersebut yang melamar anak perempuannya.
4. Seseorang yang mempromosikan seorang gadis yang agamanya bagus, namun maaf kurang penampilannya kepada temannya, dan ternyata orang tersebut ketika menikah dia memilih gadis yang penampilannya lebih menarik.
5. Seorang atasan yang sibuk membelikan buku pengembangan ini itu kepada bawahannya, namun tak satu pun yang dia baca.
Dan masih banyak cerita-cerita seperti ini.
Makanya setelah membaca kisah Diogenes ini, saya menyakini bahwa saya lebih butuh doa yang setiap hari dipanjatkan dibandingkan dengan anak saya sendiri. Saya berdoa agar anak-anak saya menjadi pribadi yang sholeh, pintar, mandiri, dan berguna.
Memang benar adagium yang pernah saya baca : orang pintar sibuk mengubah orang lain, orang bijaksana sibuk mengubah diri sendiri. Kalau saya menjadi kamu saya akan lebih banyak untuk memperbaiki diri sendiri.
No comments:
Post a Comment