Monday, August 31, 2020

Belajar dari Pak Entis : Harga Sebuah Konsistensi

Harga Sebuah Konsistensi


Dalam kehidupan sehari-hari ada orang yang begitu mudah diingat oleh orang lain dan ada yang tidak. Istilah saya adalah orang yang dari kesan pertama sudah menggoda dan orang yang mudah dilupakan begitu saja. 

Untuk hal ini saya mengalaminya sendiri. Waktu masuk ITB,  karena hanya bertiga dari SMA saya yang diterima, maka otomatis kami adalah new legal alien di kota kembang ini. 

Kebetulan saya satu kontrakan dengan namanya Harry, maka di tahun pertama, saya dan Harry seperti bukan pinang yang tidak dibelah dua. Kemana-mana selalu berdua. Di situ ada Harry di situ ada saya.

Selama waktu itu setiap berkenalan dengan orang baru, umumnya mereka lebih mengingat Harry dibandingkan dengan saya. Misalnya saya hari ini berkenalan dengan kakak kelas dari jurusan sipil asal Cirebon. Beberapa hari kemudian, kalau saya kasih senyum tuh orang, dia tidak mengenal saya. Dia mungkin juga heran ada mahluk apa yang senyum-senyum ke dia. Sayanya jadi tidak enak sendiri.

Berbeda dengan Harry, orang itu masih kenal dan sudah banyak melakukan percakapan.

Percayalah memang sudah dari sononya ada tipe orang seperti ini. Dan mereka juga menikmati keadaan seperti ini. Ibarag sebuah lampu terang benderang memasuki sebuah kerumunan, maka mau tidak mau semua perhatian tertuju padanya. Dan percayalah orang-orang ini begitu menikmatinya.

Dan percayalah, buat orang-orang yang mudah dilupakan, ini memang rejeki kita sudah begini dan harus terima. Saya juga mengakui bahwa, saya pribadi bukan tipe orang yang senang menjadi pusat perhatian. Jadi paslah.

Tapi ingat ini bukan akhir dunia. Kita masih bisa berhasil di dalam kehidupan. Dan saya banyak menemui orang-orang dengan tipe seperti ini, dan berhasil. Kita bisa menunjukkan sebuah konsistensi; kegigihan untuk menutupi kekurangan kita dalam pesona. Malah hal ini bisa menjadi pesona tersendiri dari kita.

Pada hampir-hampir menjadi mahasiswa abadi, saya mengadakan sebuah pelatihan berhari-hari dan harus menginap di kota Subang. Untuk menuju ke lokasi kami harus naik mobil elf dari terminal Ledeng sampai ke terminal Subang. Dari terminal Subang, dilanjutkan dengan naik angkot. 

Kota Subang tidak seramai kota Bandung. Untuk mencapai kuota angkot butuh waktu yang cukup lama. Hal ini yang kami rasakan waktu naik angkot. Penumpang sudah hampir penuh. Hanya kurang dua orang lain dan hari sudah panas.

Sebagaian besar penumpang mengeluah kondisi tersebut. Sudah lama, kepanasan. Beberapa orang mulai mengeluarkan "sinyal" agar angkot segera berangkat. Kurang dua penumpang, mungkin tidak merugikan supir angkot.

Namun calo angkot sebagai pencari penumpang bergeming. Dia tetap masih mencari penumpang. Keluhan dan sindiran penumpang tidak dihiraukan. Masuk kuping kanan, keluar kuping kiri. Puncaknya adalah seorang penumpang melakukan aksi boikot. Dia turun dari angkot. Wah ada martir juga, kata saya dalam hati. Kami berharap aksi ini merubah pendirian keputusan sang calo. Ternyata tidak. Dia masih setia. Angkot belum penuh, angkot tidak berangkat. Dan setelah kejadian ini kami semua memilih diam. Tidak lagi protes. 

Tak lama kemudian datang dua calon penumpang. Angkot sudah penuh dan kami pun berangkat.

Dari kejadian ini saya mengagumi keteguhan; konsistensi dari sang calo. Dia tidak peduli semuanya. Dia tetap fokus pada tugasnya. Mencari penumpang samapi penuh. Penumpang tidak penuh, dia tidak apa-apa.

Kemudian saya ada cerita lagi. Baru terjadi beberapa hari ini. Kebetulan saya dan istri mempunyai langganan tukang ojek untuk mengantar anak-anak sekolah. Namanya Pak Entis. Selain memberikan jasa ngojek, dia juga kadang-kadang kami suruh untuk tugas-tugas yang lain.

Baru beberapa bulan terakhir, setiap datang ke rumah dia selalu membawa seorang perempuan, yang kami kira anaknya ternyata istrinya. Setiap kali datang, selalu ikut. 

Lama kelamaan, yang awalnya tidak terlalu menjadi pikiran. lama-lama jadi pikiran. Memangnya istrinya ini tidak kerja apa? Kok setiap Pak Entis ke sini dia selalu turut serta. Pikiran ini terus ada sampai berujung munculnya kebutuhan kami yang baru : kami butuh orang yang menstrika, untuk sekali dalam sepekan. 

Coba, tebak nama siapa yang muncul dalam kepala saya dan istri? Istrinya Pak Entis. Tidak ada pilihan lain. Jadi selama ini Pak Entis konsisten membawa istrinya. Sekali, dua kali dan menjadi berkali-kali. Dia tidak pernah mempromosikan atau meminta pekerjaan buat istrinya. Namun kampanye yang tiada henti ini berhasil. Kami yang butuh asisten rumah tangga, yang muncul dalam kepala adalah istrinya Pak Entis.

Nah dari sini saya mempelajari, kalau kita konsisten dengan apa yang kita lakukan, apa yang menjadi tujuan, maka kita yang mudah terlupakan, akan menjadi tidak terlupakan. Karena kita mempunyai pesona tersendiri : sebauah konsistensi.

Dari sini, saya dan teman suka bercanda dalam mengelompokkan tipe manusia. Tipe pertama semakin lama semakin muak dan tipe kedua semakin lama semakin kagum. Tipe kedua inilah yang bermodalkan sebuah konsistensi, sehingga dari awalnya mudah dilupakan menjadi tidak terlupakan.


foto dari Photo by Naitian(Tony) Wang on Unsplash


No comments:

Post a Comment