Tuesday, February 11, 2020

Baru Hapal Sedikit


Pada beberapa tahun lalu, saya pernah beritikaf di masjid bilangan Pos Pengumben. Namanya orang masih bekerja, belum cuti lebaran, itikaf yang dilakukan adalah itikaf kalong. Abis maghrib datang, abis subuh pulang untuk masuk kantor.

Selain menu nasi padang gratis yang menjadi santapan sahur, itikaf ini diadakan sholat qiyamul lail berjamaah. Biasanya dilakukan di jam setengah tiga pagi setelah tidur.

Pada satu kesempatan ada sebuah kejadian menarik. Seorang jamaah menolak untuk memenuhi shaf kosong. Alasannya karena shaf tersebut terpotong tiang masjid. "Saya pernah baca hadits, bahwa shaf yang terpotong, sholatnya tidak sah."


Saya jadi terpengaruh. Saya ikut-ikutan untuk tidak memenuhi shaf kosong yang terpotong tiang tersebut.
"Enggak apa-apa Pak. Saya juga pernah baca hadits-nya."Kata seorang jamaah lain dengan percaya diri. Maksudnya dia pernah membaca juga hadits yang berbunyi bahwa, shaf yang terpotong tiang sholatnya tetap sah.

Akhirnya bisa ditebak. Yang yakin dengan hadits pertama tetap dengan pendiriannya, sedangkan yang yakin dengan sebaliknya, tetap juga dengan pendiriannya.

Pada waktu itu muncul rasa kagum dalam diri saya. Hebat juga orang-orang ini. Suka membaca hadits.

Pada tahun 2017, saya berkesempatan untuk menunaikan ibadah umroh yang dibiayai oleh perusahaan. Saya berkunjung ke kota suci Mekah dan Madinah. Di masjidil haram dan masjid nabawi, kedua-keduanya dipenuhi dengan tiang-tiang. Dan tak ada yang mengeluhkan sholatnya tidak sah karena shafnya terpotong tiang. "Wah si Bapak itu maennya kurang jauh. Mudah-mudahan dia bisa menunaian ibadah umroh atau haji biar bisa lihat di sini." Begitu kata saya.

Setelah kejadian-kejadian ini, saya meralat rasa kagum yang sebelumnya pernah ada. Justru saya merasa khawatir. Hanya karena membaca satu hadits maka kita berkesimpulan bahwa hukumnya seperti itu. Padahal perlu membaca hadits-hadits lainnya. Pada titik ini saya sependapat dengan Ustadz Ahmad Sarwat. Al-Quran dan Sunah bukan produk hukum, melainkan sumber hukum. Para ulama mencoba menggali dari kedua sumber hukum ini untuk mengeluarkan produk-produk hukum. Jadi boleh dibilang, salah kaprah karena kita membaca sedikit hadits atau sepenggal ayat di Al-Quran kemudian buru-buru memutuskan sebuah hukum. Dalam hal ini kita harus mengikuti pemahaman para ulama mengenai hal tersebut. Dan tidak semua orang bisa mengeluarkan pendapat/ status hukum. Kalau menurut Imam Ahmad bin Hambal, minimal hapal 500 ribu hadits, baik matan maupun sanadnya, baru seseorang itu bisa menjadi mujtahid. Kalau kurang lebih baik ikut pemahaman para ulama.

Moral story-nya adalah, luangkan waktu untuk mempelajari agama. Merujuklah ke pemahaman para ulama mengenai maksud dari ayat Al-Qur'an dan hadits. Wallahu 'alam bi showab.

sumber gambar : Shamer Chidiac

No comments:

Post a Comment